Sabtu, 24 Maret 2018

MENGAPA HARUS SELALU SAYA ?

Ketika banyak hal-pekerjaan, pelayanan-seakan menjadi tanggung jawab kita sendiri, bukan tidak mungkin terlintas pemikiran, "Kenapa harus saya lagi ? Kenapa selalu saya ? Kenapa saya harus menjalankan tugas yang sebenarnya merupakan tanggung jawab orang lain ? Kenapa saya harus menyelesaikan "pekerjaan" orang lain ? Kenapa harus saya yang bersusah payah untuk hal yang sebenarnya bukan kewajiban saya ?"
Manusiawi jika seseorang berpikir demikian, ketika begitu banyak hal yang "mendadak" harus menjadi tanggung jawabnya, sementara "si empunya tugas" terlihat seolah tidak peduli dengan hal-hal yang adalah kewajibannya.
Saya pun demikian. Terkadang berpikir, "Mengapa harus selalu saya yang bertanggung jawab untuk kewajiban orang lain ?"
Entah hal besar atau kecil, mudah atau sukar, semuanya terkadang membuat saya tidak nyaman. Lelah? Pasti. Jenuh? Mungkin. Bahkan bukan tidak mungkin saya menjadi marah karena begitu banyak hal yang harus saya "kerjakan" padahal bukan bagian saya, sementara "sang petugas" seolah tidak peduli. Apalagi jika ditambah dengan komentar-komentar "sinis" dari orang-orang yang menjadi "pengamat" saya. 

Seperti tertulis dalam I PETRUS 3 : 9
"HENDAKLAH KAMU MEMBERKATI, KARENA UNTUK ITULAH KAMU DIPANGGIL, YAITU UNTUK MEMPEROLEH BERKAT"

FILIPI 4 : 13 sangat jelas :
"SEGALA PERKARA DAPAT KUTANGGUNG DI DALAM DIA YANG MEMBERIKAN KEKUATAN KEPADAKU"
Dan untuk itulah,
"AKU BERSYUKUR KEPADA DIA, YANG MENGUATKAN AKU, YAITU KRISTUS YESUS, TUHAN KITA, KARENA IA MENGANGGAP AKU SETIA DAN MEMPERCAYAKAN PELAYANAN INI KEPADAKU--" (I TIMOTIUS 1 : 12)

Lalu bagaimana caranya mengatasi semua kekesalan karena hal-hal ini? Saya mulai belajar berpikir positif. Ketika saya sibuk dengan semua keluhan-keluhan, kekesalan-kekesalan, dan bahkan kemarahan-kemarahan saya karena hal-hal yang bukan tanggung jawab saya, disaat yang sama--bukan tidak mungkin--ada orang-orang lain yang juga sedang berharap untuk bisa jadi seperti saya. Yuph! Menjadi seseorang yang selalu siap dipakai. Menjadi orang yang bisa dipercaya. Menjadi orang yang bisa bertanggung jawab. Menjadi orang yang mampu diandalkan. Menjadi orang yang selalu dibutuhkan. Bukankah untuk semua hal ini saya mendapat "nilai plus" ? Nilai plus untuk diri saya sendiri, terlepas dari pandangan atau komentar "sinis para pengamat".
Di atas semuanya itu, saya kemudian mengimani bahwa hal-hal inilah yang merupakan panggilan hidup saya. Panggilan seperti apa? Panggilan untuk menjadi berkat. Lewat hal-hal yang bukan tanggungjawab saya tapi harus saya kerjakan--bahkan selesaikan--saya sedang memberkati dan sedang diberkati.
Lalu apakah saya mampu menjalani panggilan seperti ini? Iman saya pun dengan tegas menjawab "tentu saya mampu". Mengapa saya begitu yakin?

Rabu, 15 Februari 2017

Sakura no Hanabiratachi (Kelopak Bunga Sakura)



TAHUN PERTAMA...

Aku disini. Duduk di bawah batang pohon bunga Sakura dengan mahkota bunganya yang berwarna putih. Terbayang wajahmu, yang sekarang entah dimana.

Angin musim semi berhembus. Membuat ranting-ranting pohon itu bergoyang. Hanya hembusan pelan, tapi beberapa kelopak bunga Sakura terlepas dari rantingnya. Melayang-layang, sebelum akhirnya jatuh tepat di pangkuanku. Musim semi yang sama dengan tahun lalu. Tapi terasa berbeda tanpa adanya kau.

Teringat musim semi terakhir yang kita rayakan bersama. Disini. Di bawah pohon bunga Sakura ini. Dengan perasaan bahagia, merayakan hari kelulusan kita berdua.


Satu tahun berlalu, tapi aku masih ingat betul kejadian malam itu. Ditengah perasaan suka cita, kau bilang padaku akan pergi ke tempat yang jauh.

Bahkan aku masih mengingat angin musim semi yang berhembus kala itu. Hening setelah kau berkata tadi. Hening yang tidak pernah muncul sejak kita berdua menjadi sepasang sahabat. Ingin sekali aku menangis dan berkata apapun untuk mencegahmu pergi. Tapi aku tidak bisa. Itu pilihanmu.

“Aku akan menemuimu lagi, tepat saat masih ada bunga Sakura warna putih di pohon ini.” Kau menghapus butiran bening yang terlanjur berguguran dari mataku. Saat itu aku hanya bisa mengangguk.

“Ashita ne.” Kau dan aku. Kita mengucapkan itu sebagai salam perpisahan. Meski aku tidak tau, besok seperti apa yang akan mempertemukan kita.


TAHUN KEDUA !!

“Pesawat kertas itu akan terbang jauh. Membelah cakrawala. Membawa serta mimpi kita yang tertulis disana,” katamu

Musim semi kesekian yang kita habiskan sebagai sepasang sahabat. Kita sedang duduk bersama di bawah pohon bunga Sakura putih ini. Pertengahan musim semi. Bunga-bunga Sakura sedang tumbuh subur menyelimuti pohon yang selama tiga musim lainnya selalu meranggas. Memandang lembah yang jauh dari atas bukit, tempat pohon Sakura ini tumbuh.

Masih teringat ucapanmu, saat kita baru saja menerbangkan masing-masing satu pesawat kertas. Kau bilang, semua mimpi yang kutulis disana akan terkabul.
Dan di dunia ini, aku hanya punya satu mimpi. ‘Aku ingin berada di sampingmu Selamanya.’

Tapi tidak seperti katamu tadi, angin musim semi tidak mengabulkan permintaanku.
Tahun kedua. Dan kau belum juga kembali.

TAHUN KETIGA !!

Bunga-bunga Sakura bermekaran, lalu gugur. Persis seperti anganku untuk bertemu denganmu yang mekar di awal April, lalu rontok berguguran di akhir bulan. Habis tak tersisa bersamaan dengan Sakura putih yang terus menerus rontok tak berhenti. Kini bunga-bunga itu hanya meninggalkan sebatang pohon kering. Pohon itu harus menunggu tiga musim lagi untuk dapat mekar. Bersamaan dengan mekarnya harapku untukmu.

Sekali lagi, berada di tempat ini membuatku kembali teringat denganmu. Saat pertemuan pertama kita. Kau ingat?

Awal musim semi. Bunga-bunga sudah mulai bermekaran di seluruh Jepang, tapi tidak dengan bunga Sakura. Masih beberapa minggu lagi untuk pohon itu memekarkan bunga-bunganya yang indah.


Pertemuan pertama kita 10 tahun yang lalu. Musim semi pertamaku di kota indah ini, Nagano.

Aku berjalan riang menuju sebuah toko serba ada. Membawa daftar panjang belanjaan di tangan kanan, dan beberapa lembar uang Yen di tangan kiri. Kuncir dua rambut sepinggangku melambai. Dipermainkan angin.

Hari pertama kepindahanku ke kota ini, Nagano. Sebuah perfektur yang dilindungi ratusan gunung kekar dengan pemandangannya yang indah.


Ayah, ibu, dan aku, saat itu kami baru saja selesai menurunkan seluruh kardus barang-barang dari atas truk.

Kepindahan yang memlelahkan. Tadotsu—Nagano, lintas pulau Shikoku—Honsu. Masih banyak yang harus dilakukan, tapi matahari sudah harus tenggelam. Belum lagi ada beberapa benda yang harus dibeli. Dan saat itulah aku menawarkan diri untuk berbelanja.
Awalnya ayah dan ibu sangsi, melihatku yang hendak berbelanja seorang diri. Tapi demi melihat kesungguhanku, maka berangkatlah aku yang kala itu masih berusia 10 tahun. Seorang diri menuju sebuah toko yang telah ditunjukan ibu sebelumnya.


Belanja ternyata mudah, itulah yang ada dipikiranku saat hampir semua barang dicatatan sudah berpindah ke dalam keranjang belanjaan. Bagaimana tidak? Aku hanya perlu mengambil barang yang ada didaftar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah itu, beres!

Di catatan belanjaanku hanya tinggal satu barang lagi, sebungkus roti gandum.
Aha, itu dia, aku memekik dalam hati saat melihat barang terakhir itu tersandar disalah satu rak toko. Tinggal satu bungkus.

Saat itulah aku pertama kali melihat mata abu-abumu. Tapi sayang, tidak dengan situasi yang menyenangkan.

Kau pasti selalu tertawa jika kita mengingat kejadian ini.
Kita berdua berebut roti gandum terakhir tadi.

Akhirnya setelah paman pemilik toko itu turun tangan, Akulah yang berhak mendapat roti gandum terakhir.

Kau merengut. Kesal. Pipi bulatmu terlihat sangat menggemaskan kala itu.
Aku tersenyum. Puas.

Saat berjalan riang keluar dari toko serba ada itu, aku baru menyadari sebuah masalah.
CELAKA!!! Aku lupa jalan pulang!!

Aku sudah melupakan kantung belanjaan saat itu. Menangis tersedu di bawah temaram lampu jalan trotoar yang menghiasi malam.

Dan disaat itulah kau muncul.


Angin musim semi mempermainkan rambut cokelat tuamu. Lensa mata kelabumu terlihat berkilat-kilat diterpa temaram lampu jalan. Ah, bahkan saat berusia 10 tahun saja kau sudah tampak mempesona.

Sempat aku berfikir, kau akan meledekku yang sedang menangis ini. Atau paling tidak kau berpura-pura tidak melihatku. Karena bagaimanapun akibat akulah kau tidak mendapatkan roti gandum terakhir tadi.

Tapi tidak. Kau malah berjongkok di sampingku. Bertanya mengapa aku menangis. Dan disaat aku menceritakan masalahku, kau berbaik hati menemaniku menghabiskan malam.
Berjanji mengantarku pulang — nanti — saat matahari sudah muncul.

Duduk di bawah pohon Sakura berkelopak putih yang saat itu bunganya belum bermekaran.

Pertemuan pertama kita. Aku tidak pernah menduga, ternyata setelah itu masih banyak pertemuan-pertemuan kita yang lainnya.


TAHUN KEEMPAT !!

Aku ingin menjadi sesuatu yang berharga dalam hidupmu.

“Aku ingin seperti bunga Sakura,” ucapmu padakku.

Saat itu entah sudah musim semi keberapa yang kita habiskan bersama. Usia kita sama-sama 15 tahun. Dengan pohon bunga Sakura putih itu yang masih setia menemani persahabatan kita.

Aku menoleh, bingung. “Mengapa? Bukankah jika kita seperti bunga Sakura, hidup kita tidak akan bertahan lama?”

Saat itulah kau tersenyum. Sebuah taring kanan atasmu yang sedikit maju terlihat. Gingsul membuat senyumu semakin manis. “Memang.”

“Lalu, mengapa kau masih ingin menjadi seperti bunga Sakura?”

“Karena kau tau? Meski bunga Sakura hanya berumur pendek tapi kehidupannya benar-benar berharga.” Sekelopak bunga Sakura mendarat tepat di atas pangkuanmu. Kau memungutnya, lalu menunjukannya padaku. “Lihat! Bunga ini memang kecil, tapi harga pelajaran yang diberikannya itu sangatlah besar.”

Aku ikut memperhatikan bunga yang kau pungut itu.
“Seperti katamu tadi, bunga Sakura memang hanya berumur pendek. Tapi dibalik itu semua Tuhan menciptakan bunga kecil indah ini berumur pendek bukan tanpa alasan. Dibalik kelopaknya yang kecil nan rapuh dan hidupnya yang singkat, dia mengingatkan kita tentang hidup yang hanya sebentar.”

Aku memandangmu. Takjub.
“Selain itu, bunga ini juga mengajarkan kita kesabaran. Kau tau berapa lama bunga Sakura mekar sebelum akhirnya gugur?”

Aku mengangguk untuk pertanyaan itu. “Tidak lebih lama dari satu bulan. Sedangkan dia menunggu untuk dapat mekar selama lebih dari tiga musim.”

Sekelopak bunga Sakura gugur diatas pangkuanku.
Aku ingin menjadi sesuatu yang berharga dalam hidupmu.
Dan saat itulah aku memutuskan untuk menjadi bunga Sakuramu...


TAHUN KELIMA . . . 

Ah… tidak terasa sudah lima tahun aku menghabiskan musim semi disini tanpa dirimu.
Sekelopak bunga Sakura dengan mahkota warna putih terlepas dari ranting pohon yang menaunginya. Angin musim semi yang membuat kelopak bunga rapuh itu terjatuh. Angin yang sama yang membelai rambut sebahu milikku saat ini, yang membuatku semakin teringat dengamu.

Ah ya, aku teringat saat hari kelulsan. Siang di hari yang sama dengan malam perpisahan yang menyakitkan itu.

Kau duduk di bangku taman halaman sekolah. Menatap hiruk pikuk teman-teman yang saling mengucapkan salam perpisahan. Awal April. Baru sedikit kelopak bunga Sakura yang mekar Aku menghampirimu.

Kita duduk bersisian. Angin musim semi membelai rambut pirangku. Seakan berbisik, inilah waktu yang tepat. Aku akan mengungkapkan perasaan ini padamu.

Ya, karena aku mencintaimu, sahabatku.

Oke, ini memang terdengar klise. Persahabatan yang kemudian berubah menjadi cinta. Jika mereka memiliki perasaan yang sama, maka jadilah sepasang kekasih. Tapi biasanya cerita cinta seperti ini tidak akan berlangsung lama. Salah satu dari mereka pasti akan menyadari lebih baik menjadi sahabat daripada kekasih. Atau jika salah satu dari mereka tidak memiliki perasaan yang sama, maka hancurlah persahabatan itu.

Tapi peduli setan dengan itu semua! Aku tetap akan menyatakan perasaanku.
“Nanti malam. Pukul tujuh. Seperti biasa.” Kau bicara mendahuluiku.
Aku kembali menelan ucapanku yang hampir termuntahkan keluar.

Nanti malam. Pukul tujuh. Seperti biasa, aku tau persis maksud kalimatmu ini. Kau memintaku datang pukul tujuh malam ini, di bawah pohon bunga Sakura putih itu.

Lalu kau berdiri, tersenyum, sebelum meninggalkanku. Beberapa orang gadis baru saja memanggilmu untuk berfoto bersama.

Memintamu. Bukan memintaku. Padahal mereka sama-sama teman sekelas kita.

Yah… kau sahabatku, pemuda popular dan tampan. Tidak seperti aku gadis kuper dan kutu buku.

Angin musim semi berhembus. Menerbangkan potongan-potongan kalimat yang barusaha hendak aku muntahkan di hadapanmu.

Tidak kali ini.
Mungkin nanti malam.


TAHUN KEENAM . . . . .

Sejujurnya aku tidak tau persis, kapan perasaan seperti ini pertama kali muncul. Yang jelas musim semi satu tahun sebelum kelulusan, saat para gadis pemujamu itu datang berbondong-bondong menggerubungi kita. Aku yang sedang duduk di taman bersamamu, harus terusir karena kerumunan gadis-gadis itu.

Saat itulah perasaan aneh muncul. Perasaan aneh yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh seseorang yang memiliki IQ 150 sepertiku. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Bahkan perasaan itu tidak ada dalam rumus di buku Fisika atau Matematika manapun. Percampuran perasaan marah, kesal, iri.

Marah. Aku marah, karena mereka mengusirku bergitu saja.
Kesal. Entah kenapa hati kecilku seakan berkata, kau milikku dan bukan mereka!
Iri. Tapi di waktu yang sama aku juga sadar. Mereka jauh lebih cantik dan popular dariku. Dan pastinya kau yang tampan akan lebih memilih mereka dibanding aku yang kutu buku ini.

Tapi aku salah.
Keesokan harinya. Bunga Sakura warna putih mekar di atas bukit tempat kita menghabiskan waktu bersama. Sepanjang petemuan kita sore itu, kau terus bercerita tentang ketidaksukaanmu pada gadis-gadis itu. Kau bilang benci jika harus berada dekat dengan para gadis.

“Apakah kau juga benci berada di dekatku?” Kau menoleh. Seakan baru sadar, aku sebagai sahabatmu, yang saat ini duduk bersebelahan dengan kau, juga adalah seorang gadis.

“Tidak.” Kau diam sesaat. Tapi kalimatmu selanjutnya seakan menjadi pintu gerbangku menuju perasaan itu. “Karena kau special.”


TAHUN KETUJUH . . . . .

Ah… sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas.

Awal musim semi tahun ketujuh tanpamu. Aku disini, di bawah pohon Sakura dengan daun yang tumbuh rimbun, tanpa bunganya yang berwarna putih. Masih beberapa hari lagi untuk bunga-bunga putih itu bermekaran.

Kau tau? Musim semi menumbuhkan dua buah perasaan yang bertolak belakang di hatiku. Senang, sekaligus takut.

Aku senang. Jelas. Karena disaat bunga-bunga Sakura itu bermekaran, disaat itu pulalah bunga anganku untu bertemu denganmu juga mekar.

Tapi aku juga takut. Takut sekali jika ternyata perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan. Perasaan cinta ini, hanya aku yang merasakannya.

Aku takut. Selama tujuh tahun menunggumu disini, hanya hampa yang menyapaku saat kau kembali. Hampa karena saat itu aku tau, kau tak lagi bisa kugapai. Karena sudah ada orang lain di hatimu. Aku lebih senang menunggu tanpa kepastian darimu. Setidaknya dengan begitu aku masih bisa berharap denganmu.

Bertahun-tahun bersahabat dengan kau, tak pernah ada gadis lain yang dekat denganmu selain aku. Dekat saja tidak ada, apalagi menjadi kekasih. Membuat benih harapan langsung saja tumbuh subur di hatiku. Setidaknya aku masih bisa bermimpi untuk menjadi kekasihmu.

Tapi akankah mimpi itu masih ada jika kau kembali?


TAHUN KEDELAPAN . . . . . .

TAHUN KESEMBILAN . . . . . . .

DAN, TAHUN KESEPULUH !!

Apakah kau masih ingat denganku?

Tidak terasa ya… sudah sepuluh tahun sejak kau pergi. Sudah sepuluh tahun pula aku menghabiskan musim semi yang selalu indah ini, hanya dengan duduk di bawah pohon Sakura putih. Menunggu janjimu yang akan datang saat masih ada kelopak bunga putih di pohon ini.

Tapi anganku seakan pupus begitu saja. Hanya tinggal satu kelopak bunga Sakura lagi yang menggantung di ujung pohon itu. Aku tau, satu tarikan nafas dari tuan angin akan menggugurkannya. Dan saat itulah, anganku untuk bertemu dengamu tahun ini juga gugur.


Waktu terus berputar, membiarkanku yang seakan terus menunggu tanpa akhir. Jingga sudah membungkus cakrawala. Kelopak terakhir bunga Sakura itu masih mengayun-ayun lembut dipermainkan angin. Belum melayang-layang jatuh.

Aku bangkit dari dudukku. Menghela nafas, lalu mendongak ke arah kelopak terakhir bunga yang masih mengayun di atas pohon itu.

Mungkin bukan tahun ini. Aku berbalik, hendak pergi. Berharap tahun depan masih ada bunga Sakura putih dan angin musim semi di tempat ini.

“Ayame!!!”
Jantungku berhenti berdetak saat itu juga.

Suara itu. Meski sudah sepuluh tahun tidak mendengarnya, suara itu masih terdengar sama. Serak. Basah. Menyenangkan.

“Aoyama!!!” aku berbalik, lalu menghambur ke arahmu. Ternyata kau menepati janjimu. Kau muncul tepat saat kelopak terakhir Sakura putih itu masih menempel di pohonnya.

Kristal bening berguguran dari pelupuk mataku. Sedih. Senang. Terharu. Semua menjadi satu. Aku menangis dalam bahumu. Kau membelai rambutku lembut, selembut angin musim semi.

“Gomen aku telah mengingkari janjiku dulu.”

“Tidak.” Aku menggeleng. Membuat Kristal bening lain gugur dari bola mataku. “Kau tetap menepati janjimu,” bisikku lirih.


Beberapa menit berlalu. Tangisku mereda. Kau melonggarkan sedikit pelukan di antara kita.

Saat itulah mata kelabumu menatap lensa hitam milikku. Ah… tatapan yang sejak dulu sudah memesonakan aku.

Setelah basa-basi sebentar, tiba-tiba kau berbicara. “Oh ya, aku mau kau berkenalan dengan seseorang.”

Deg. Seseorang? Siapa? Apakah salah satu gadis pemujamu saat SMA dulu? Atau ada gadis lain?

Ah, harusnya aku tidak berharap banyak darimu. Kau tampan. Pasti ada banyak gadis diluar sana yang berebut untuk jadi kekasihmu. Aku yakin sekali, gadis-gadis itu pasti sangatlah cantik—cocok berdampingan denganmu yang tampan.

“Siapa?” aku bertanya meski tidak ingin mendengar jawabannya.

Kau tersenyum. Lalu seorang pria berambut emas dipotong pedek muncul dari balik punggungmu. Tingginya sejajar dengan kau, dan itu artinya aku yang pendek ini harus mendongak demi melihat wajahnya lebih jelas. Ah… pria itu juga memiliki lesung pipi rupanya. Manis. Tapi tetap kalah manis dengan gingsul di gigimu itu.
Aku menghela nafas—sedikit—lega.

“Ryuu perkenalkan ini Ayame.”

Pemuda bernama Ryuu itu mengulurkan tangannya. “Jadi ini gadis yang kau ceritakan pernah berebut roti denganmu.” Tertawa. Kau juga.

Demi kesopanan aku tertawa.

“Ayame, perkenalkan ini Ryuu—” Aku menyambut uluran tangan kekar pemuda itu. Angin musim semi berhembus, menggugurkan kelopak bunga Sakura terakhir. Dan kalimatmu selanjutnya juga berhasil menggugurkan anganku. “Kekasihku…”

Aku kembali tertawa. Kini perih.

Jadi selama ini, aku menunggu dan mencintai seorang pria g*y?!

Dadaku sesak. Sungguh!! Masih jauh lebih baik ditolak, dibanding kenyataan bahwa seseorang yang dicintai ternyata g*y.

Dan saat itu aku berharap bumi menelanku bulat-bulat.


-the end-


Nb.
Ini bukan karyaku, ambil di website mana lupa.. Sory bagi yang ngarang cerpen ini aku copy tanpa izin. Thanks yaa ^^




Jumat, 22 April 2016

CAN'T YOU HEAR IT?

i don't know how much longer that i have to put up with you
i've been hiding everythings in my heart
everytime we meet each other...
everytime we face each other...
though I am indifferent !
do you know how much have i have to force myself ?
can't you hear my heart calling for you,
loving you...
but i can't release my heart out for anyone to know
can't you hear my heart's waiting there for you
Waiting for you to feel it
i was hoping that you will realize someday.
though i love you, though i feel.... your love...
but deep down inside, i can't dare to tell you
can't you hear my heart calling for you,
loving you...
but i can't release my heart out for anyone to know
can't you hear my heart waiting there for you,
waiting for you to feel it...
and i was hoping that you will realize that this woman still love you..
any way, someday... you will know...

Selasa, 22 Maret 2016

AKU BELAJAR

aku belajar...
bahwa tidak selamanya hidup ini indah, kadang TUHAN mengijinkan aku melalui derita.
tetapi aku tahu bahwa IA tidak pernah meninggalkanku, sebab itu aku belajar menikmati hidup dengan bersyukur.

aku belajar...
bahwa tidak semua yang aku harapkan akan menjadi kenyataan, kadang TUHAN membelokkan rencanaku.
tetapi aku tahu bahwa itu lebih baik dari yang aku rencanakan, sebab itu aku belajar menerima semua itu dengan sukacita.

aku belajar...
bahwa pencobaan itu pasti datang di hidupku, aku tidak mungkin berkata "tidak TUHAN".
karena itu aku tahu bahwa semua itu tidak melampaui kekuatanku, sebab itu aku belajar menghadapinya dengan sabar.

aku belajar...
bahwa tidak ada kejadian yang harus disesali dan ditangisi,
karena semua rancangan-Nya indah bagiku.

ketika "kaki" sudah tak kuat berdiri...
"berlututlah"

ketika "tangan" sudah tak kuat menggenggam...
"lipatlah"

ketika "kepala" sudah tak kuat ditegakkan...
"menunduklah"

ketika "hati" sudah tak kuat menahan kesedihan...
"menangislah"

ketika "hidup" sudah tak mampu untuk dihadapi...
"berdoalah"

TUHAN selalu setia bersama kita dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya...

TUHAN mendengar  lebih dari yang kau katakan...
TUHAN menjawab lebih dari yang kau minta...
TUHAN memberi lebih dari yang kau inginkan...

karena dibelakangmu ada kekuatan yang tak terhingga...
dihadapanmu ada kemungkinan tanpa batas...
disekitarmu ada kesempatan yang tiada akhir. lebih dari itu, diatasmu ada TUHAN yang selalu menyertaimu...

kasih TUHAN padamu seperti lingkaran, tak berawal dan tak berakhir.
TUHAN YESUS memberkati. :)

Senin, 29 Februari 2016

MENGAPA HARUS SELALU SAYA?

Renungan "MENGAPA HARUS SELALU SAYA?"
Ketika banyak hal-pekerjaan, pelayanan-seakan menjadi tanggung jawab kita sendiri, bukan tidak mungkin terlintas pemikiran, "Kenapa harus saya lagi? Kenapa selalu saya? Kenapa saya harus menjalankan tugas yangg sebenarnya merupakan tanggung jawab orang lain? Kenapa saya harus menyelesaikan "pekerjaan" orang lain? Kenapa harus saya yang bersusah payah untuk hal yang sebenarnya bukan kewajiban saya?"

Manusiawi jika seseorang berpikir demikian, ketika begitu banyak hal yang "mendadak" harus menjadi tanggung jawabnya, sementara "si empunya tugas" terlihat seolah tidak peduli dengan hal-hal yang adalah kewajibannya.

Saya pun demikian. Terkadang berpikir, "Mengapa harus selalu saya yang bertanggung jawab untuk kewajiban orang lain?"

Entah hal besar atau kecil, mudah atau sukar, semuanya terkadang membuat saya tidak nyaman. Lelah? Pasti. Jenuh? Mungkin. Bahkan bukan tidak mungkin saya menjadi marah karena begitu banyak hal yang harus saya "kerjakan" padahal bukan bagian saya, sementara "sang petugas" seolah tidak peduli. Apalagi jika ditambah dengan komentar-komentar "sinis" dari orang-orang yang menjadi "pengamat" saya. 
😄
 
Lalu bagaimana caranya mengatasi semua kekesalan karena hal-hal ini? Saya mulai belajar berpikir positif. Ketika saya sibuk dengan semua keluhan-keluhan, kekesalan-kekesalan, dan bahkan kemarahan-kemarahan saya karena hal-hal yang bukan tanggung jawab saya, disaat yang sama--bukan tidak mungkin--ada orang-orang lain yang juga sedang berharap untuk bisa jadi seperti saya. Yuph! Menjadi seseorang yang selalu siap dipakai. Menjadi orang yang bisa dipercaya. Menjadi orang yang bisa bertanggung jawab. Menjadi orang yang mampu diandalkan. Menjadi orang yang selalu dibutuhkan. Bukankah untuk semua hal ini saya mendapat "nilai plus"? Nilai plus untuk diri saya sendiri, terlepas dari pandangan atau komentar "sinis para pengamat".

Di atas semuanya itu, saya kemudian mengimani bahwa hal-hal inilah yang merupakan panggilan hidup saya. Panggilan seperti apa? Panggilan untuk menjadi berkat. Lewat hal-hal yang bukan tanggungjawab saya tapi harus saya kerjakan--bahkan selesaikan--saya sedang memberkati dan sedang diberkati.

Seperti tertulis dalam I PETRUS 3 : 9
"HENDAKLAH KAMU MEMBERKATI, KARENA UNTUK ITULAH KAMU DIPANGGIL, YAITU UNTUK MEMPEROLEH BERKAT"

Lalu apakah saya mampu menjalani panggilan seperti ini? Iman saya pun dengan tegas menjawab "tentu saya mampu". Mengapa saya begitu yakin?

FILIPI 4 : 13 sangat jelas : 
"SEGALA PERKARA DAPAT KUTANGGUNG DI DALAM DIA YANG MEMBERIKAN KEKUATAN KEPADAKU"

Dan untuk itulah, 
"AKU BERSYUKUR KEPADA DIA, YANG MENGUATKAN AKU, YAITU KRISTUS YESUS, TUHAN KITA, KARENA IA MENGANGGAP AKU SETIA DAN MEMPERCAYAKAN PELAYANAN INI KEPADAKU--" (I TIMOTIUS 1 : 12)

Selamat, "menerima berkat dan menjadi berkat" !!

Senin, 22 Februari 2016

[REPOST!] BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERPACARAN DENGAN ORANG KATOLIK?

Pada renungan harian kali ini, saya mau menjawab pertanyaan yang sangat sering ditanyakan kepada saya berkaitan dengan pacaran beda agama, “Bolehkah orang Kristen berpacaran dengan orang Katolik?” Menarik untuk dibahas, bukan?

Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya mau mengajak Anda berputar-putar dulu. Saya mau mengajukan suatu kasus. Ada cewek Kristen yang berinisial A dan ada juga cowok Kristen yang berinisial B. Si A dan Si B menjalin hubungan karena memiliki agama yang sama, yaitu Kristen. Si A adalah orang Kristen yang sangat taat dan takut akan Tuhan.

Selang beberapa waktu, si B menunjukkan karakter yang tidak baik. Si B suka selingkuh dan berkata kasar sehingga sangat sering menyakiti hati Si A. Jelas, Si A menjadi sangat kecewa dengan Si B. Pertanyaan saya, bolehkah Si A tetap berpacaran dengan Si B?

Jelas jawabannya, Si A tidak boleh berpacaran lagi dengan Si B walaupun agama mereka sama. Dengan demikian, sebenarnya hal terpenting yang saya mau sampaikan adalah kesamaan agama tidak dapat menjamin apakah kita boleh berpacaran dengan orang itu atau tidak.

Namun, bukan berarti kita bebas berpacaran dengan orang yang berbeda agama. Mengapa? Karena orang yang berbeda agama jelas tidak akan mau mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. 

Jangankan orang yang berbeda agama, orang yang beragama Kristen pun sebenarnya masih banyak yang belum mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat! 
Contohnya adalah Si B dalam ilustrasi kasus di atas. Ia suka selingkuh dan berkata kasar, artinya ia tidak mau tunduk pada pengajaran Yesus yang penuh kasih. Ia hidup suka-suka sendiri. Jika seseorang hidup suka-suka sendiri, sebenarnya ia tidak menjadikan Yesus sebagai Tuhan.

Jadi, berpacaranlah dengan orang yang benar-benar mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat! Ini akan memudahkan kita untuk menjawab pertanyaan, “Bolehkah orang Kristen berpacaran dengan orang Katolik?”.

Apakah agama Katolik mengajarkan umatnya untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? 
Jelas, Katolik mengajarkan hal itu. Jadi, orang Kristen boleh berpacaran dengan orang KatolikIntinya, orang Kristen harus berpacaran dengan orang yang benar-benar mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.

Artinya begini, Jika ada orang yang beragama Kristen atau Katolik tetapi hidupnya tidak menunjukkan ia mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, janganlah berpacaran dengan orang itu! Anda mengerti yang saya maksud?

Lebih dari yang saya bahas, sebenarnya kita harus memeriksa diri kita sendiri. Sebagai orang Kristen, sudahkah hidup kita menunjukkan bahwa kita benar-benar mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat? Jangan-jangan kita sendiri belum menunjukkannya! Jadi, perbaiki diri kita sendiri dulu sebelum menemukan jodoh kita, entah yang beragama Kristen ataupun Katolik. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

[ artikel ditulis oleh : Bagas Karyadi, M.Th ]

SIAPA BAGAS KARYADI?

Bagas Karyadi, M.Th. mendedikasikan hidupnya dalam dunia pengajaran dan pendidikan Kekristenan. Semenjak duduk di bangku sekolah menengah atas, Bagas sudah ikut mengambil pelayanan sebagai layout editor sebuah tabloid yang ditujukan untuk remaja dan pemuda di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Nehemia, Pondok Indah.

Kemudian, pada tahun 2006 Bagas diterima masuk perkuliahan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setahun kemudian, Bagas masuk dalam penjurusan perkuliahan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

Pada saat yang bersamaan, Bagas pun mulai bergabung ke dalam sebuah unit kegiatan mahasiswa di IPB, yaitu Komisi Pelayanan Siswa - Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (KPS - PMK IPB). Bersama KPS - PMK IPB, Bagas melayani sebagai guru sukarela Mata Pelajaran Agama Kristen Protestan di SMAN 5 Bogor selama dua tahun (2007-2009). Selain itu, Bagas juga ditunjuk sebagai Koordinator Pembinaan Tim Pelayanan SMAN 5 Bogor. Bagas bertugas untuk memimpin aktivitas pembinaan untuk semua pelayan yang melayani di SMAN 5 Bogor. Pada tahun 2008-2009, Bagas menjabat sebagai Koordinator Persekutuan Siswa Kristen Bogor (PSKB). Bagas bertugas untuk memimpin pelaksanaan kegiatan persekutuan para pelajar Kristen di Bogor.

Pada akhir masa perkuliahan, Bagas bekerja paruh waktu sebagai guru di SMP Tongkat Harun, Tangerang Selatan. Pada akhir 2011, Bagas pun menyelesaikan studinya di IPB dengan skripsi yang berjudul : RANCANGAN PROGRAM PENDIDIKAN KONSERVASI BAGI ANGGOTA PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) DI KELURAHAN CILINCING, JAKARTA UTARA. Skripsinya yang bertemakan pendidikan adalah tanda bahwa Bagas telah jatuh cinta pada dunia pendidikan dan pengajaran.

Pada awal tahun 2012 hingga pertengahan tahun 2013, Bagas memutuskan bekerja sebagai guru di SD Pembangunan Jaya. Kemudian, Bagas melanjutkan panggilannya sebagai guru di SD Nasional Plus BPK Penabur Bogor sampai pertengahan tahun 2015. Sekarang, Bagas melayani sebagai Christianity Studies Teacher di National High Jakarta School, Jakarta Barat. Pada saat yang sama pula, Bagas menyelesaikan studi S2 dalam Program Pascasarjana Magister Teologi di STT Bethel Indonesia, dengan tesis yang berjudul : PENINGKATAN PEMAHAMAN DAN SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP PENGHAKIMAN TERAKHIR MELALUI KELAS PENDALAMAN ALKITAB JARAK JAUH (ASYNCHRONOUS LEARNING).

Dalam dunia pelayanan Kristiani, Bagas juga melayani sebagai guru Sekolah Minggu di GBI Rehobot. Bagas juga diundang untuk menjadi pembicara Firman Tuhan di beberapa komunitas. Selain itu, Bagas juga aktif memproduksi dan membagikan renungan-renungan Firman Tuhan dalam bentuk tulisan melalui blognya www.bagas.org dan renunganharian.id

Misi terbesar Bagas dalam hidupnya adalah mendirikan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) yang memiliki landasan Kekristenan yang kokoh. Hal ini diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa yang benar-benar memiliki kecintaan yang sejati terhadap Tuhan Yesus Kristus. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah satu-satunya cara untuk membangun paradigma Kekristenan dalam jiwa anak-anak sehingga kelak ketika mereka dewasa, mereka benar-benar siap dipertunangkan dengan Tuhan Yesus Kristus di Langit Baru & Bumi Baru.

Selasa, 16 Februari 2016

HOPELESS

Di sebuah café,

Dengan pemandang menjurus ke sebuah lapangan besar dengan hamparan rumput hijau yang ditanami beberapa pohon dan bunga-bunga. Mungkin, sang pemilik café sengaja menggunakan jasa desain tukang kebun untuk mendesainnya. Mungkin saja. Terlihat dua orang yang tengah bercakap disudut sebuah ruangan yang di tata sedemikan rupa, sehingga membuat siapapun yang berada disana akan selalu merasa nyaman

“Kau kenapa ? Kau terlihat lesu dan kurang bersemangat. Apakah kau sakit ?” ucapnya.

Dia menunduk kemudian menggelengkan kepalanya, “Aku tak apa-apa. Aku hanya sedikit malas berbicara terhadap siapapun.”

Menghela nafas. “Kau berbohong. Kau tau sudah berapa lama kita berteman ? Aku tau benar siapa kamu. Kau bukan tipe orang yang pendiam. Kau akan terlihat diam jika kau bertemu dengan orang yang tak kamu kenal atau tak akrab denganmu.. Tapi kali ini kau berbeda, sangat berbeda.”

Orang itu mengangkat kepalanya, menatap seseorang didepannya.

“Apakah aku terlihat seperti itu ? Kau salah. Aku hanya sedang belajar bagaimana menjadi orang yang terlihat cuek sama keadaan disekelilingku. Apakah aku salah ?”

Seseorang didepannya menghela nafas dan meneguk segelas cappuccino panas didepannya.

“Tidak. Kau tak salah. Tapi apakah kau tau, perubahanmu menimbulkan banyak pertanyaan terhadap orang-orang yang menyayangimu dan perhatian terhadapmu. Mungkin, sebagian besar dari mereka tak ingin kau berubah. Mereka ingin kau seperti dulu.. Menjadi sosok yang ceria walau kau terlihat banyak masalah.

“Aku tak bisa… Aku bukan gadis yang kuat seperti yang kau maksud. Bukankah seperti ucapanmu tadi kita sudah berteman lama ? Seharusnya kau mengerti apa yang sudah aku alami selama ini. Aku tak bisa berpura-pura bahagia sementara hatiku sedang sakit.

Tanpa disadari, buliran air mata mulai membanjiri pipinya. Orang itu tersenyum. Merogoh tasnya dan mengambil sehelai tissue dan memberikan kepada dia yang perlahan telah menangis.

“Menangis saja jika kau ingin menangis. Kadang kala menangis bisa membuat seseorang lebih merasa lega.” ucapnya.

Ia mengambil tissue tersebut dan menghapus bulir-bulir air mata yang membanjiri pipinya. “Thanks. Tapi, aku tak tahu kenapa, pikiranku kosong belakangan ini. Aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Dia datang membelenggu pada diriku tanpa sengaja.”

“Kau terlalu mendramarisir sebuah keadaan. Kau tak pernah berubah. Dari awal aku mengenalmu sampai sekarang kau tetap saja menjadi orang yang begitu sensitif. Bisakah sekali-sekali kau tak peduli sama apapun yang terjadi ? Kau tau, tanpa sengaja kau sudah menyakiti dirimu.”

“Hmm, aku ingin berubah. Tapi apapun yang aku pikirkan itu yang selalu terjadi. Apakah pikiranku salah ? Atau, hatiku yang salah karena aku selalu menjadi orang yang pemikir ?”

“Apakah aku terlihat menyalahkanmu ? Tidak. Aku tak menyalahkanmu. Bahkan aku iri sama kamu. Tanpa kamu sadari seharusnya kamu sudah bisa menghibur hatimu sebelum kau tau yang sebenarnya. Tapi sayang, kau terlalu menyimpannya dalam-dalam sehingga kau sendiri yang membuat hatimu terluka. Bukan orang lain.”

“Yah, aku tahu. Bahkan aku sadar betul aku sendiri yang selalu membuat hatiku terluka. Tapi apakah aku salah jika aku terlalu sering membutuhkan perhatian dari siapapun itu ?”

“Tak salah jika kita membutuhkan perhatian dari siapapun. Aku tahu kamu, kau mungkin sudah kurang membutuhkan perhatian dari keluargamu sehingga kau pergi mencari perhatian itu di orang lain disekelilingmu. Tapi kau juga harus sadar, mereka bukan orang tuamu yang selalu ada buatmu. Mereka juga harus membagi perhatiannya kepada orang lain selain kamu. Seharusnya kau juga tak perlu membagi semua kesedihanmu kepada mereka.”

“………………………..”

“Itulah yang terkadang membuatmu selalu merasa kecewa. Kau terlalu punya rasa berharap dan kepercayaan yang terlalu tinggi terhadap sesuatu yang bukan milikmu. Kau harus mengurangi kadar porsinya agar kau tak terlalu sakit hati.”

“Lantas, apakah aku egois ?”

“Kamu tak egois. Hanya saja beberapa dari mereka yang masih kurang memahami kamu. Jika mereka memahamimu mereka tak akan mungkin membuat hari-harimu dipenuhi dengan kekecewaan. Ingat, batas wajar kesabaran orang itu berbeda. Mungkin kau hanya sedikit perlu mengerti itu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan ? Aku bingung, mereka kadang memusuhiku seakan aku punya banyak salah. Tapi jika mereka yang melakukannya terhadapku aku tak pernah berfikir untuk mengecewakan mereka.”

“Kau hanya cukup bersabar terhadap segala sesuatu. Percayalah, segala sesuatu yang terjadi itu indah. Kau tak usah meragukan apapun yang sudah terjadi. Mungkin hari ini mereka menyakitimu, tapi percayalah ini hanya sementara asalkan kau tau bagaimana menempatkan pikiran dan hatimu itu sendiri. Tuhan itu baik.”

“Apa menurutmu aku ini childish ?”

“Apakah menurutmu sendiri kamu itu childish ?”

“Aku tak tahu. Hanya mereka yang bisa menilai dan memahamiku.”

"Apakah kau tau definisi childish itu ? Itu bukan soal sikap dan perilaku saja. Sikapmu mungkin terkesan kekanak-kanakkan tapi, apakah mereka yang mengatakanmu childish bisa memastikan bahwa mereka benar-benar sudah bersikap dewasa ? Aku rasa tidak. Mereka kadang hanya mementingkan ego mereka. Percayalah, hidup itu indah. Tak usah terlalu berharap perhatian dari siapapun, karena bukan hal yang mustahil seseorang yang hari ini memberimu perhatian lebih, justru itu juga yang nanti akan membuatmu sakit berlebihan.