Di
sebuah café,
Dengan
pemandang menjurus ke sebuah lapangan besar dengan hamparan rumput hijau yang
ditanami beberapa pohon dan bunga-bunga. Mungkin, sang pemilik café sengaja
menggunakan jasa desain tukang kebun untuk mendesainnya. Mungkin saja. Terlihat
dua orang yang tengah bercakap disudut sebuah ruangan yang di tata sedemikan
rupa, sehingga membuat siapapun yang berada disana akan selalu merasa nyaman
“Kau kenapa ? Kau terlihat lesu dan
kurang bersemangat. Apakah kau sakit ?” ucapnya.
Dia menunduk kemudian menggelengkan
kepalanya, “Aku tak apa-apa. Aku hanya sedikit
malas berbicara terhadap siapapun.”
Menghela nafas. “Kau berbohong. Kau
tau sudah berapa lama kita berteman ? Aku tau benar siapa kamu. Kau bukan tipe
orang yang pendiam. Kau akan terlihat diam jika kau bertemu dengan orang yang
tak kamu kenal atau tak akrab denganmu.. Tapi kali ini kau berbeda, sangat
berbeda.”
Orang itu mengangkat kepalanya,
menatap seseorang didepannya.
“Apakah aku terlihat seperti itu ? Kau
salah. Aku hanya sedang belajar bagaimana menjadi orang yang terlihat cuek sama
keadaan disekelilingku. Apakah aku salah ?”
Seseorang didepannya menghela nafas
dan meneguk segelas cappuccino panas didepannya.
“Tidak. Kau tak salah. Tapi apakah kau
tau, perubahanmu menimbulkan banyak pertanyaan terhadap orang-orang yang
menyayangimu dan perhatian terhadapmu. Mungkin, sebagian besar dari mereka tak
ingin kau berubah. Mereka ingin kau seperti dulu.. Menjadi sosok yang ceria
walau kau terlihat banyak masalah.
“Aku tak bisa… Aku bukan gadis yang
kuat seperti yang kau maksud. Bukankah seperti ucapanmu tadi kita sudah
berteman lama ? Seharusnya kau mengerti apa yang sudah aku alami selama ini.
Aku tak bisa berpura-pura bahagia sementara hatiku sedang sakit.
Tanpa disadari, buliran air mata mulai
membanjiri pipinya. Orang itu tersenyum. Merogoh tasnya dan mengambil sehelai
tissue dan memberikan kepada dia yang perlahan telah menangis.
“Menangis saja jika kau ingin
menangis. Kadang kala menangis bisa membuat seseorang lebih merasa lega.”
ucapnya.
Ia mengambil tissue tersebut dan
menghapus bulir-bulir air mata yang membanjiri pipinya. “Thanks. Tapi, aku tak
tahu kenapa, pikiranku kosong belakangan ini. Aku tak tau apa yang sedang aku
pikirkan sekarang. Dia datang membelenggu pada diriku tanpa sengaja.”
“Kau terlalu mendramarisir sebuah
keadaan. Kau tak pernah berubah. Dari awal aku mengenalmu sampai sekarang kau
tetap saja menjadi orang yang begitu sensitif. Bisakah sekali-sekali kau tak
peduli sama apapun yang terjadi ? Kau tau, tanpa sengaja kau sudah menyakiti
dirimu.”
“Hmm, aku ingin berubah. Tapi apapun
yang aku pikirkan itu yang selalu terjadi. Apakah pikiranku salah ? Atau,
hatiku yang salah karena aku selalu menjadi orang yang pemikir ?”
“Apakah aku terlihat menyalahkanmu ?
Tidak. Aku tak menyalahkanmu. Bahkan aku iri sama kamu. Tanpa kamu sadari
seharusnya kamu sudah bisa menghibur hatimu sebelum kau tau yang sebenarnya.
Tapi sayang, kau terlalu menyimpannya dalam-dalam sehingga kau sendiri yang
membuat hatimu terluka. Bukan orang lain.”
“Yah, aku tahu. Bahkan aku sadar betul
aku sendiri yang selalu membuat hatiku terluka. Tapi apakah aku salah jika aku
terlalu sering membutuhkan perhatian dari siapapun itu ?”
“Tak salah jika kita membutuhkan
perhatian dari siapapun. Aku tahu kamu, kau mungkin sudah kurang membutuhkan
perhatian dari keluargamu sehingga kau pergi mencari perhatian itu di orang
lain disekelilingmu. Tapi kau juga harus sadar, mereka bukan orang tuamu yang
selalu ada buatmu. Mereka juga harus membagi perhatiannya kepada orang lain
selain kamu. Seharusnya kau juga tak perlu membagi semua kesedihanmu kepada
mereka.”
“………………………..”
“Itulah yang terkadang membuatmu
selalu merasa kecewa. Kau terlalu punya rasa berharap dan kepercayaan yang
terlalu tinggi terhadap sesuatu yang bukan milikmu. Kau harus mengurangi kadar
porsinya agar kau tak terlalu sakit hati.”
“Lantas, apakah aku egois ?”
“Kamu tak egois. Hanya saja beberapa
dari mereka yang masih kurang memahami kamu. Jika mereka memahamimu mereka tak
akan mungkin membuat hari-harimu dipenuhi dengan kekecewaan. Ingat, batas wajar
kesabaran orang itu berbeda. Mungkin kau hanya sedikit perlu mengerti itu.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan ? Aku
bingung, mereka kadang memusuhiku seakan aku punya banyak salah. Tapi jika
mereka yang melakukannya terhadapku aku tak pernah berfikir untuk mengecewakan
mereka.”
“Kau hanya cukup bersabar terhadap
segala sesuatu. Percayalah, segala sesuatu yang terjadi itu indah. Kau tak usah
meragukan apapun yang sudah terjadi. Mungkin hari ini mereka menyakitimu, tapi
percayalah ini hanya sementara asalkan kau tau bagaimana menempatkan pikiran
dan hatimu itu sendiri. Tuhan itu baik.”
“Apa menurutmu aku ini childish ?”
“Apakah menurutmu sendiri kamu itu childish
?”
“Aku tak tahu. Hanya mereka yang bisa
menilai dan memahamiku.”
"Apakah kau tau definisi childish itu ? Itu bukan soal sikap dan perilaku saja. Sikapmu mungkin terkesan kekanak-kanakkan tapi, apakah mereka yang mengatakanmu childish bisa memastikan bahwa mereka benar-benar sudah bersikap dewasa ? Aku rasa tidak. Mereka kadang hanya mementingkan ego mereka. Percayalah, hidup itu indah. Tak usah terlalu berharap perhatian dari siapapun, karena bukan hal yang mustahil seseorang yang hari ini memberimu perhatian lebih, justru itu juga yang nanti akan membuatmu sakit
berlebihan.